Menjadi seseorang yang optimis, menurut
studi, bisa menghantar seseorang merasa lebih bahagia. Ternyata, studi
ilmiah mengatakan, optimisme bisa dilatih. Begini yang disarankan O Magazine:
Bermain dengan Interpersonal
Jika
Anda tersenyum kepada seseorang, ia akan tersenyum kembali. Jika Anda
cemberut atau marah-marah, orang itu juga akan berlaku serupa. Riset
menunjukkan bahwa ekspresi wajah dan perasaan yang terkait di dalamnya
bisa menular, mungkin karena hal itu berevolusi sebagai bahasa nonverbal
di antara manusia. Anda bisa menggunakan efek menular ini dengan cara
tersenyum kepada orang lain dan menambahkan optimisme dalam diri Anda
sendiri.
Korsleting Pesimisme
Seseorang yang
memasang wajah bahagia juga bisa memengaruhi otaknya sendiri dengan
cara yang positif. Dalam sebuah studi, subyek yang diminta menahan
pulpen pada mulut (pose ini membuat kita membentuk wajah seperti orang
tersenyum), merating kartun lebih lucu meski mereka tak menyadari bahwa
pose ini yang mendorongnya bereaksi seperti ini. Ada alasan biologis
atas efek ini, saat Anda merasa sedih, sel otak mengatakan wajah Anda
untuk terlihat sedih, dan otot wajah Anda merespon dengan memasang
ekspresi depresi akan mengatakan kembali pada otak, ya saya sedang
sedih. Secara sadar mengubah otot wajah menjadi tersenyum saat perasaan
sedih ternyata bisa mengubah perasaan, lho.
Optimis Menghadapi Sukses dan Kegagalan
Riset menunjukkan bahwa bukan apa yang terjadi yang menentukan mood,
tetapi bagaimana Anda menerangkan apa yang terjadi yang punya pengaruh
besar terhadap diri sendiri. Jika seseorang yang optimistis menemukan
masalah pada program komputer dan ia tak bisa mengerti apa yang salah,
ia akan berpikir, "Entah masalahnya ada pada petunjuk manual, atau
memang program ini sulit, atau memang hari ini yang kurang bagus." Para
optimis akan melihat kegagalan di luar dirinya, contoh tadi; "petunjuk
manual", "programnya", atau "hari yang kurang bagus". Sementara orang
yang pesimistis akan melihat sesuatu dari sisi internal diri, global,
dan permanen. Untuk menghadapi kesuksesan, seseorang yang optimis akan
melihatnya dengan, "Tentu makan malamnya sukses, saya koki yang bagus,"
sementara orang yang pesimis akan melihatnya, "Wah, saya sedang
beruntung," ia secara terang-terangan mengaku kalah dari kesuksesan.
Jika Anda mulai bicara kepada diri sendiri dengan cara yang positif baik
susah maupun sukses, secara perlahan, Anda akan mulai jadi orang yang
optimis, tapi hati-hati terlihat sombong, ya.
Mensabotase Hal Baik
Sangat
mudah untuk merasa iri. Membandingkan diri dengan mereka yang memiliki
paha ramping atau rekening bank yang membludak hanya akan membuat Anda
merasa tidak pernah cukup, selalu kekurangan, dan pesimis. Seberapa
buruk keadaan, akan selalu ada orang yang mendapatkan perasaan yang
lebih parah. Dalam sebuah studi sederhana, responden dibagi dalam 2
grup. Grup pertama diminta menyelesaikan kalimat, "Seandainya saya ..."
dan grup lain diminta menyelesaikan kalimat, "Saya bersyukur saya bukan
seorang ..." Ketika para responden diminta meratifikasi rasa kepuasan
dengan hidup mereka sebelum dan sesudah tugas ini, mereka yang mengisi
kalimat kedua merasa lebih bahagia ketimbang sebelumnya.
Belajar Mengalihkan Fokus
Orang
yang pesimistis tak bisa berhenti mendepresikan fakta atau memikirkan
hal-hal yang negatif, tetapi mereka bisa memilih untuk tidak tenggelam
di dalamnya. Jika Anda melihat lewat lensa kamera, Anda akan melihat
bahwa saat satu hal sedang berada dalam fokus, satu lainnya berada dalam
kondisi buram. Ini merupakan sebuah distorsi, memang, tetapi kadang
kita butuh distorsi untuk melihat sesuatu dalam perspektif berbeda.
Mengarahkan diri ke hal yang lain akan membantu Anda menciptakan sebuah
cerita alur hidup yang berbeda, hidup yang membuat Anda mampu
mengkontrol emosi dan aksi Anda. Karena para periset menunjukkan bahwa
mereka yang merasa memiliki kontrol atas diri cenderung lebih
optimistis, lalu mengapa Anda tidak mengambil alih ketika Anda tahu Anda
bisa mengubah lensa fokus hidup Anda?
sumber : Kompas.com